Tahun 1953, Bung Karno sudah menggagas tentang pembangunan rumah-rumah ibadah berbagai agama. Ketika itu, dia memulainya dengan menggagas pembangunan masjid Istiqlal di atas taman Willhelmina. Arti Istiqlal itu sendiri adalah kebebasan atau kemerdekaan. Cukup lama gagasan tinggal gagasan, dan sejarah menorehkan tanggal 24 Agustus 1961 sebagai tanggal peletakan batu pertama, tanda dimulainya pembangunan masjid tersebut.
Gagasan Bung Karno membangun masjid di atas taman Willhelmina, sempat ditentang Bung Hatta, yang menghendaki supaya pembangunan masjid itu mengambil lokasi di daerah Kebon Kacang, areal dekat Tanah Abang, dengan alasan di sana banyak permukiman penduduk. Bung Karno menolak usul Hatta dengan argument, bahwa masjid Istiqlal harus dibangun di atas taman Willhelmina, agar makna simbolis berupa kemerdekaan dari Belanda bisa terwujud. Selain itu, Bung Karno menunjuk Gereja Kathedral yang sudah berdiri kokoh, tak jauh dari lokasi masjid yang hendak dibangun Bung Karno.
Ya, Bung Karno menghendaki Istiqlal dibangun berdekatan dengan Kathedral, untuk melambangkan kerukunan umat beragama. Bapak Proklamator itu melanjutkan gagasannya, untuk membangun rumah-rumah ibadah dari agama-agama lain, yang juga berdekatan dengan Istiqlal dan Kathedral. Sayang, sebelum gagasan itu terwujud, Bung Karno didongkel tahun 1967. Bukan saja Bung Karno tidak bisa meresmikan Istiqlal yang baru diselesaikan oleh rezim Soeharto pada 22 Februari 1978, tetapi, Bung Karno juga gagal mewujudkan impiannya, menciptakan icon kerukunan beragama di ibukota negara Indonesia.
Tiga alinea di atas, kiranya cukup untuk mengaitkan dengan Bukit Kasih di Desa Kanonang di Kawangkoan, sekitar 50 kilometer dari pusat kota Manado. Meski mayoritas penduduk Sulawesi Utara adalah pemeluk Nasrani, tetapi, di Bukit Kasih itu, berdiri lima rumah ibadah dari lima agama yang berbeda. Tidak salah bukan, jika Bukit Kasih yang dibangun tahun 1999 itu kita sebut sebagai perwujudan dari impian Presiden Sukarno?
Di atas Bukit Kasih, berdiri dua bangunan gereja, masjid, vihara, dan pura saling berdampingan. Pemilihan lokasi yang berada di dataran tinggi, jauh dari permukiman, kiranya juga tidak berbeda jauh dengan gagasan Bung Karno membangun Istiqlal yang ketika itu (dan sampai saat ini) jauh dari permukiman penduduk. Bung Karno mementingkan perlambang atau simbol. Makna kerukunan umat beragama itulah yang hendak dicapai Bung Karno. Bahwa kemudian saat ini Istiqlal selalu padat dengan aktivitas umat Islam, barangkali Bung Karno akan menyebutnya bonus.
Sama halnya Bukit Kasih di Sulawsi Utara. Dari area lokasi, jika kita melempar pandang ke sekeliling, tampak rerimbunan hutan tropis dan sesekali berkabut. Tak heran. Untuk mencapai puncak Bukit Kasih, pengunjung harus menapak 2.435 buah anak tangga. Jangan khawatir, sepanjang rute pendakian, dilengkapi beberapa pos pemberhentian untuk menghela nafas sambil menyapu pemandangan alam pegunungan yang asri.
Sesampai di atas, kita akan menatap pintu Bukit Kasih berupa tugu menjulang setinggi 22 meter. Tugu lima sisi, menandakan lima agama di Indonesia yang disatukan oleh toleransi. Di setiap sisi, dipahat relief berupa gambar bangunan rumah ibadah masing-masing agama beserta kutipan ayat-ayat suci dari agama masing-masing. Tak pelak, Bukit Kasih sudah menjadi icon Sulawesi Utara. Selain bangunannya yang megah, pemilihan lokasi serta ide dan gagasan yang melatarbelakangi pembangunannya pun, sungguh mulia.
Selain kemuliaan gagasan Bukit Kasih, dilokasi itu juga terdapat nilai-nilai tradisi yang melekat. Salah satunya tergambar melalui sepasang patung wajah bernama Toar dan Limuumut yang dipercaya sebagai nenek moyang warga Minahasa. Menurut sang hikayat, di bukit ini pernah muncul sebuah legenda tentang sepasang ibu-anak yang saling jatuh cinta lalu menikah. Tak heran jika salah satu sisi bukit dibuatkan patung wajah Toar (sang anak) dan Limumuut (sang ibu) yang diyakini sebagai nenek moyang Suku Minahasa.
Akan tetapi, secara keseluruhan, pesan moral yang bisa ditangkap dari Bukit Kasih adalah simbol cinta kasih dan perdamaian antar umat beragama. Dapat dimaklumi karena masyarakat Sulawesi Utara sangat menjunjung tinggi rasa toleransi dan kebersamaan antar umat beragama. Simbol toleransi antar umat beragama itu diwujudkan dengan dibangunnya tempat tempat ibadah dari lima agama resmi di negeri ini. Ada Gereja Protestan, Gereja Katolik, Masjid, Vihara, dan Pura.
Karenanya, sungguh disayangkan, jika Anda warga Manado khususnya, dan warga Kawanua pada umumnya di mana pun berada, belum pernah menapak Bukit Kasih. Setidaknya, niatkanlah. Lokasi yang berada di atas panas bumi Gunung Soputan itu, sesekali mengeluarkan aroma belerang. Di sana juga terdapat mata air panas. Karenanya bisa dipastikan, mengunjungi Bukit Kasih, bukan saja kekayaan rohani akan lebih terpupuk, tetapi juga memberi kesegaran jiwa dan raga.
Betapa tidak, sepanjang perjalanan mata Anda akan dimanjakan pemandangan alam menarik, mulai dari melihat pemandangan Teluk Manado dari wilayah Tinoor, lalu melintasi kota bunga Tomohon. Dari kota Tomohon, perjalanan menuju Bukit Kasih bisa melewati kawasan wisata Hutan Pinus dan Pemandian Air Panas Lahendong, Taman Wisata Toar Lumimuut Sonder, dan Gua Jepang di Kiawa, Kawangkoan. Atau bisa juga melintasi jalan Lingkar Timur Tomohon, melewati pintu masuk kawasan wisata Bukit Doa Mahawu, lalu masuk wilayah Tondano menyusuri pesisir Danau Tondano menuju Kawangkoan. Selanjutnya dari Pasar Kawangkoan, masuk menuju desa Kanonang, desa yang juga terkenal sebagai sentra kuda pacu kelas dunia. (jef/ted)
Be the first to leave a comment