Manado, kawanuaplus.com – Jarang warga Sulawesi Utara yang peduli kepada anggota Permesta yang saat ini rata-rata berusia lanjut dan sudah renta. Brigjen Pol. (P) Drs. Wenny Warouw termasuk yang peduli kepada anggota Permesta. Saat ini, dia sedang bersiap-siap mengemban amanah menjadi wakil rakyat alias legislator dari Sulut untuk kali pertama.
“Permesta memperjuangkan Indonesia bersih dari komunisme di Sulut. Permesta juga sudah berjuang agar otonomi daerah dilaksanakan demi kesejahteraan daerah. Jasa mereka sangat besar bagi warga Sulut dan Indonesia. Itu sebabnya saya meluangkan tenaga dan waktu bagi mereka sebagai balas jasa saya sebagai anak negeri kepada para pejuang tersebut,” papar Wenny.
Kepedulian Wenny tak bisa dibayang sederhana. Dia kerap mengumpulkan opa-opa dan oma-oma Permesta tersebut agar bisa berkumpul, bersilaturahmi mengenang masa-masa mereka bergerilya di hutan belantara.
Pekerjaan menggelar reuni Permesta bukan perkara mudah. Misalnya, saat perayaan Natal 2013 silam. Wenny dan kawan-kawannya menyiapkan empat bus untuk menjemput para pejuang tersebut. Empat bus itu menjemput sampai ke pelosok-pelosok daerah.
Apakah sesederhana itu? tidak! Panitia perayaan Natal ala Permesta itu harus mengawal kondisi fisik para anggota Permesta itu. Panitia harus menjaga kondisi fisik para anggota Permesta itu. Misalnya, saat jam makan, konsumsi harus benar-benar sudah siap dimakan. “Untuk itu panitia harus ekstra sabar,” ujar bungsu dari lima bersaudara dari keluarga Lucas Warouw itu.
Jangan sampai para pejuang itu telat makan, sebab bisa berakibat fatal pada anjloknya kondisi fisik para pejuang usia lanjut tersebut.
Dengan sangat hati-hati, lanjut Wenny, menjelang keberangkatan bus penjemput Permesta, panitia sudah menyiapkan konsumsi, sehingga sepanjang perjalanan para pejuang Permesta itu terus terjaga baik kondisi fisiknya.
“Mereka kan sangat gembira ketika berkumpul dengan rekan-rekannya di dalam bus. Panitia harus mengingatkan dan menjaga agar mereka tetap tidak lupa makan dalam situasi gembira tersebut,” kata Wenny.
Ketika acara berlangsung, ribuan pejuang Permesta yang berkumpul di Langowan tersebut saling melepas kangen dan bernostalgia mengenang masa-masa gerilya. Mereka juga berdansa dan bernyanyi bersama pada perayaan Natal tersebut.
“Pelayanan panitia tak hanya menjemput. Tapi mereka juga mengantar pulang para pejuang Permesta. Usai acara, bus-bus tadi mengantar pulang sampai ke rumah-rumah pejuang Permesta tersebut,” kenang Wenny.
Balas jasa Wenny kepada para pejuang Permesta itu berbalas kebaikan. Wenny banyak menuai dukungan dari mereka, tapi ini bukan dukungan yang tiba-tiba. Dukungan itu tak lepas dari kepedulian Wenny kepada mereka selama bertahun-tahun, jadi bukan kepedulian yang mendadak karena menjelang Pemilu 2014.
Wenny bertekad menjadi wakil rakyat melalui DPR RI yang benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyat. Dia ingin memberi kontribusi bagi warga Sulut. Guna mengarungi dunia politik, Wenny berpegang teguh pada filosofi Sitou Timou Tumou Tou serta mengimplementasikannya dengan semangat MATUARI (Torang samua basudara), MAESA (Persatuan dan kesatuan) dan MAPALUS (Kerjasama/Gotong Royong).
Mantan Kaposwil Badan Intelijen Negara (BIN) Sulawesi Utara dan Gorontalo ini mendambakan kesejahteraan warga Sulut termasuk petani, nelayan dan pedagang,ÔÇØ ujarnya. Dia mencontohkan tekadnya untuk berjuang menentang RPP Tembakau. Menurut dia, bentuk perjuangannya harus lewat legislatif.
“Karena jika rancangan itu diundangkan, petani cengkih akan merasakan dampaknya. Secara otomatis harga cengkih akan anjlok,ÔÇØ jelas Wenny. Terlebih Wenny merupakan anak petani cengkih.
Wenny Warouw dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga petani yang bertempat tinggal di desa Tulap, Kecamatan Kombi, Kabupaten Minahasa. Ayahnya, Lucas Engelbert Warouw adalah petani cengkeh dan kelapa. Sementara sang ibu, Laurentia Pakasi lebih banyak terjun dibidang kerohanian di gereja GMIM Tulap.
“Ayah saya sangat tegas dan disiplin dalam pekerjaan dan itu sangat mempengaruhi pembentukan karakter pribadi saya. Ayah menjabat sebagai Kepala Desa sejak jaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang sampai pada pemberontakan Permesta yaitu pada tahun 1938 sampai tahun 1960 menjadi hukum tua [Kepala Desa],” pungkas Wenny. go
Be the first to leave a comment