Jakarta, kawanuaplus.com – Satu lagi Pahlawan Nasional asal Sulawesi Utara (Sulut) yang dikenang jasanya dengan penyematan namanya. Adalah Pahlawan Nasional Laksamana (Jahja Daniel Dharma atau lebih dikenal sebagai John Lie disematkan pada kapal Perang Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL).
Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI DR Marsetio MM, Gubernur Sulawesi Utara SH Sarundajang dan Panglima Armada Timur (Pangarmatim) Laksamana Muda TNI Ary Hendricus Sembiring resmi mengukuhkan penggunaan nama KRI John Lie 358. Kapal ini adalah kapal perang jenis frigate pabrikan Inggris, yang diresmikan di Dermaga Pelabuhan Samudera Bitung, Sulawesi Utara, Sabtu (13/12/2014).
Komandan KRI John Lie, Kolonel Laut (P) Antonius Widyoutomo kemudian menjelaskan alasan penamaan John Lie. Menurutnya, Laksamana Muda TNI (Purn) Jahja Daniel Dharma, atau yang lebih dikenal sebagai John Lie, adalah seorang perwira tinggi TNI AL dari etnis Tionghoa yang telah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia. John Lie lahir pada tanggal 9 Maret 1911 di Manado, Sulawesi Utara.
Tokoh warga Sulut, Harry Kawilarang membagi artikel tentang kisah kepahlawanan Laksamana John Lie yang dinilai sebanding dengan penyematan namanya sebagai nama kapal perang. Berikut ini kutipan artikel yang dimuat di akun facebook Harry Kawilarang.
John Lie lahir di Manado pada 9 Maret 1911 dari pasangan Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio. Sejak kecil, John Lie terlihat suka dengan laut. Pada usia 18 tahun ia bekerja pada Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), perusahaan perkapalan Hindia-Belanda.
Dari sini, ia mendapat kursus Navigasi di Jakarta. Selama perang dunia II, bertugas di Angkatan Laut Sekutu pada tahun 1942-1944. Karenanya, ia mendapat latihan-latihan kelautan di pangkalan angkatan laut Inggris di teluk Persia, yang makin membuatnya matang dalam kelautan seperti pengenalan senjata, bongkar pasang dan pemeliharaannya, taktik perang laut, prosedur dan administrasi kapal logistik, sistem komunikasi dan morse, pengenalan jenis-jenis kapal sekutu, pengetahuan ranjau dan sebagainya.
Seusai perang dunia II, proklamasi kemerdekaan Indonesia telah menarik banyak pemuda termasuk John Lie kembali ke Indonesia dan mengabdi pada nusa dan bangsa.
Ketika kembali pada bulan Februari 1946, yang pertama dilakukan John Lie adalah bergabung dengan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Beberapa kesalahpahaman dan kecurigaan terjadi saat itu. Ia dicurigai mata-mata Belanda dan harus ditahan selama dua malam.
Ia dapat keluar dari tahanan setelah menghadiahkan satu koper pakaiannya dari luar negeri. Dengan bantuan seorang sahabatnya, ia dapat menghadap KSAL Laksamana M. Pardi walau harus melewati beberapa pos penjagaan dengan pertanyaan-pertanyaan rumit yang menggambarkan kecurigaan. Ia kemudian diterima di ALRI dengan pangkat Kelasi III. Dalam tugasnya, John Lie menunjukkan kecemerlangan dan kematangannya dalam kelautan termasuk mengamankan pelabuhan Cilacap dari ranjau-ranjau yang ditanam.
Ia juga melatih kader pemuda Indonesia dalam kelautan. Perjuangannya memang tidak berhenti begitu saja dengan berakhirnya agresi militer Belada.
John Lie kemudian berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari pemberontakan-pemberontakan, seperti operasi terhadap RMS, PRRI dan Permesta. Kesibukannya dalam perjuangan membuat dirinya baru menikah ketika berusia 45 tahun, dengan Margaretha Angkuw. John Lie kemudian mengganti nama dengan Jahja Daniel Dharma, pada tanggal 30 Agustus 1966. Tahun 1970, ia pensiun dengan pangkat terakhir Laksama Muda TNI-AL.
THE OUTLAW; Sang Kapal Hantu
Pada satu malam yang kelam seusai agresi militer Belanda pertama, sebuah kapal sebuah kapal speed boat tanpa lampu melaju kencang menembus kegelapan. Kapal ini bernama The Outlaw yang berarti pembangkang. Misi utama kapal itu untuk menembus blokade laut Belanda agar dapat menjual hasil bumi Indonesia untuk membeli alat-alat militer, komunikasi dan obat-obatan yang diperlukan dalam perjuangan fisik Republik Indonesia terhadap Belanda.
Dengan kecerdikan nakhodanya Mayor Laut John Lie, kapal The Outlaw berkali-kali berhasil menyeberang Selat Malaka. Keberhasilan ini mencengangkan dunia saat itu. Sampai-sampai BBC London dalam siaran radionya menyebut kapal ini sebagai The Black Speed Boat yang laksana kapal hantu. Ia selalu berhasil melintasi selat tersebut dengan bebas walau diincar Angkatan Laut Kerajaan Belanda.
Berita-berita dari BBC ini membawa petaka sekaligus berkah bagi Indonesia. Petaka karena membuat pihak Belanda marah dan makin memperketat blokade laut terhadap Indonesia sehingga menyulitkan gerak dari The Outlaw. Tetapi di pihak lain, berita ini merupakan berkah karena perjuangan rakyat Indonesia makin dikenal oleh dunia internasional.
Wakil tetap RI di PBB, L.N. Palar berseru dengan lantang bahwa ucapan Belanda yang mengatakan Indonesia telah dikuasai adalah omong kosong. Sebagai bukti, ia menunjukkan adanya siaran radio BBC hampir setiap hari, begitu pula tulisan-tulisan di surat-surat kabar berbahasa Inggris di Singapura, Malaya maupun Muangthai mengenai keberhasilan The Outlaw lolos dari blokade kapal-kapal AL Belanda di Indonesia.
Salah satu contoh keberhasilan John Lie dan awak kapalnya terlihat ketika kapal ini hendak meninggalkan perairan Raja Ulak dengan tujuan Penang.
Seperti biasa, pelayaran dilaksanakan malam hari tanpa lampu. Rupanya mata sang Nakhoda cukup jeli untuk mengenal empat bayangan hitam di hadapan kapalnya. Empat kapal musuh rupanya sedang menanti kedatangan The Outlaw dan berencana menyergap dan mengeroyoknya.
Kali ini sulit rasanya bagi The Outlaw agar terhindar dari sergapan, walau dengan kecepatan tinggi dan gerakan zig-zag sekalipun. Cara ini memang pernah diterapkan dan berhasil menghindari sergapan dan tembakan kapal musuh. Rasanya kali ini tak mungkin dilakukan karena kapal bermuatan maksimum.
Sementara kapal-kapal musuh kian mendekat dan membuat gerakan menjepit dan melepaskan tembakan berkali-kali. The Outlaw bukan kapal perang yang di persenjatai walau bertugas mengangkut senjata, sehingga tidak dapat melawan.
Dalam situasi ini, John Lie segera memerintahkan anak buah kapal untuk mengikat lampu senter pada sebuah drum berisi minyak solar dan menceburkan drum tersebut ke laut. Sementara kapal musuh mulai terpancing ke arah sinar yang bergoyang karena ombak tersebut. Berkat upaya ini The Outlaw dapat melaju bebas ke perairan internasional.
Dalam operasi di waktu yang lain, kesulitan yang harus mereka hadapi ternyata tidak hanya dari pihak musuh saja. Satu kali, karena blokade Belanda yang semakin ketat, The Outlaw harus memindahkan daerah operasinya lebih ke barat yakni Aceh.
Tetapi kapal yang berbendera merah putih tersebut, mengalami nasib naas karena kandas di beting yakni muara sungai yang berlumpur dan berpasir. Berkat kesadaran tinggi dari para nelayan di Kuala Teming, Aceh Timur, mereka dengan ikhlas menolong kapal ini untuk bisa kembali bergerak bebas di laut.
Bersatu Untuk Indonesia
Pada satu ketika, seluruh awak kapal menghadapi kesulitan karena perbekalan logistik yang sangat menipis. John Lie kemudian melapor kepada Dr. Saroso, Kepala Perekonomian RI di Singapura. Saat itu Dr. Saroso terdiam.
Ketika mereka sedang memikirkan jalan keluar dari masalah tersebut, tiba-tiba muncul Haji Tahir. Ia membawa titipan dari Wakil Presiden RI, Mohammad Hatta untuk Mayor John Lie. Ketika dibuka titipan itu berupa sumbangan uang sebesar lima ribu ringgit dalam bentuk cek dengan pesan:” Kiriman senjata dan peluru, semua sudah diterima dengan selamat.”
Wajarlah bila semua awak The Outlaw merasa bangga dan haru karena mereka mendapat perhatian dan penghargaan dari Wakil Presiden. Rasa senasib ini telah membuat perbedaan dalam agama, budaya, suku, kedudukan bahkan watak, tidak menjadi penghalang bagi suatu bangsa berjuang dan bersatu demi mempertahankan kemerdekaan.
Bagi John Lie, tugas yang diembannya bukan hanya menjalankan The Outlaw sesuai dengan misi. Ia juga acapkali melakukan diplomasi ketika berada di luar negeri. Pada saat berlabuh di Malaya, ia harus menghadapi kecurigaan para pembesar di sana yang mengira The Outlaw ikut dalam kegiatan komunis karena ia beragama Kristen seperti juga agama para perwira tersebut. Kesempatan ini digunakan oleh John Lie untuk menjelaskan keadaan Indonesia sebenarnya.
“Pada waktu Jepang bertekuk Lutut dan menyerah tanpa syarat kepada sekutu, karena dua bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, maka beberapa hari kemudian, pada tanggal 17 Agustus 1945, Bangsa Indonesia mengumumkan
kemerdekaannya. Bekas Hindia-Belanda sekarang telah menjadi negara Republik Indonesia yang merdeka. Kami bukan jajahan Jepang lagi karena Jepang sudah takluk kepada Sekutu. Sebaliknya kami tidak bersedia di kembalikan sebagai jajahan Belanda karena Belanda juga telah dikalahkan oleh Jepang bertahun-tahun sebelumnya. Dengan demikian, semua penjajah Indonesia sudah kalah,” ujar John Lie.
Dia melanjutkan seruannya, Pengumuman ini tidak di terima dengan baik oleh berbagai kalangan. Belanda tidak setuju dengan kemerdekaan Indonesia yang menurut mereka sepihak. Tentu saja kami tidak dapat menerima sikap tersebut. Kemerdekaan yang telah diumumkan oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta itu tetap berlaku. Sebagai akibatnya, kami berjuang melawan setiap usaha Belanda yang berusaha mengembalikan kami ke alam penjajahan. Bahkan, blokade laut yang diadakan juga kami lawan. The Outlaw adalah salah satu diantara kapal-kapal lainnya yang menerobos blokade itu. Bukankah Perdana Menteri Sir Winston Churhill telah menyerukan supaya rakyat Inggris bahu membahu dalam menghadapi serbuan tentara Jerman? Begitu juga dengan negeri Belanda yang sempat dikuasai tentara Nazi Jerman. Rakyat Belanda juga tidak ingin dijajah oleh Bangsa apapun. Karena itu mereka berjuang, bergerak di bawah tanah menentang penjajah mereka. Kalau rakyat Inggris dan Belanda menolak setiap bentuk penjajahan, begitu juga kami sebagai Bangsa Indonesia menolak hal yang serupa,Seru John Lie.
Orang-orang yang mendengarkan nampak puas dan mengerti, terutama karena The Outlaw anti Komunis. Seusai memberikan penjelasan, John Lie segera menelpon Mr. Zairin Zein, wakil Dr. Saroso untuk datang dari Singapura ke Malaya. Kedatangan Mr. Zairin Zein bersama Darry Salim bertujuan untuk bertemu dan bertukar pikiran dengan tokoh atau pemuka asal Malaya.
Dalam pertemuan ini, terjadi saling pengertian antara Malaya dan Indonesia yang sangat bermanfaat bagi perjuangan Indonesia, khususnya bagi The Outlaw yang sering dianggap penyelundup.
Taat Beribadah
Seusai pertemuan tersebut, nakhoda John Lie pergi beribadat ke Gereja Presbyterian Church of England. Dalam kesempatan tersebut, John Lie berkenalan dengan para jemaat, majelis jemaat, Pendeta Fisher sebagai Ketua Presbyterian Church of England di Malaya, perwira pabean Inggris dan seorang Inggris dari Kesatuan Polisi Khusus Anti-Komunis. Mereka semua bersikap baik dan tidak antipati terhadap Indonesia walau siaran radio BBC sering menjuluki The Outlaw si kapal hantu yang liar di Selat Malaka.
Pendeta Fisher bahkan memperlihatkan sikap yang lebih simpatik lagi. Ia mengundang John Lie bersantap malam di rumahnya. Pendeta Fisher banyak bertanya tentang revolusi di Indonesia, gereja Kristen dan Komunis di Indonesia. Semua pertanyaan dijawab oleh John Lie dengan baik.
Diceritakan juga oleh John Lie bahwa persoalan agama di Indonesia dianggap sebagai masalah keluarga. Anggota gereja John Lie atau gereja lainnya banyak juga yang aktif dalam revolusi Indonesia, bersama-sama dengan saudara sebangsanya yang berbeda agama.
Dalam pertemuan itu, Pendeta Fisher juga bertanya tentang misi sebenarnya yang diemban oleh The Outlaw
John Lie menjelaskan padanya dengan gamblang: “The Outlaw itu bukan kapal bajak laut atau penyelundup, melainkan ia melaksanakan tugas berjuang untuk melawan blokade Belanda yang hendak mencekik Indonesia.
“Dengan blokade laut itu, Indonesia tidak dapat memasukkan barang yang diperlukan dari luar negeri atau sebaliknya. Sedangkan kami memerlukan alat-alat atau barang impor dan kami mempunyai bahan mentah untuk dijual. Karena tidak dapat keluar masuk seperti biasa, ya kami gunakan cara seperti ini. Jadi, sebenarnya misi The Outlaw ialah berjuang erjuang, menerobos blokade agar urat nadi perhubungan Indonesia dengan dunia luar tidak terputus. Bahwa dalam perjuangan itu kami harus menempuh berbagai macam bahaya, termasuk bahaya yang ditimbulkan oleh meriam Belanda, itu semua tidak membuat kami merasa gentar sedikitpun. Bahkan kami rela mengorbankan jiwa, demi untuk kemerdekaan bangsa kami,” jelasnya.
Pendeta Fisher puas sekali dengan percakapan malam itu. Ia banyak menimba informasi tentang The Outlaw dan perjuangan bangsa Indonesia. Pendeta Fisher berkata : Sekarang saya dapat menjawab pertanyaan jemaat mengenai Indonesia. Dan pendeta ini juga berjanji kepada John Lie akan membantu Indonesia terutama dalam rapat-rapat anti-komunis dan memberikan penjelasan yang benar tentang perjuangan Bangsa Indonesia di kalangan orang kulit putih. John Lie menyadari pentingnnya diplomasi ini, dengan melakukannya di negeri orang.
Operasi The Outlaw Terakhir
Bulan September 1949 merupakan pelayaran terakhir yang dilakukan John Lie bersama anak buah kapalnya. Saat itu The Outlaw berlayar dari Aceh ke Phuket. Di Bangkok ia mendapat tugas baru untuk mencari dan mengumpulkan lebih banyak senjata dan keperluan militer lainnya.
Kapal The Outlaw kemudian dipimpin oleh Letnan Laut O.P. Kusno, seorang pelaut yang juga berpengalaman.
Perpisahan John Lie dengan kapal itu ternyata kemudian diikuti dengan tertangkapnya kapal tersebut oleh Belanda. Kapal kemudian dibawa menuju Belawan.
Sesampainya di kade pelabuhan Belawan, tampak penuh sesak orang-orang Belanda baik militer maupun sipil yang ingin melihat kapal hantu yang legendaris tersebut. Sebagian besar mereka bersorak gembira dan mengelu-elukan keberhasilan penangkapan tersebut. Di antara mereka, ada yang berteriak : “Waar is John Lie? Waar is hij? (Dimana John Lie? Dimana dia?). Tetapi John Lie sudah bukan nakhoda kapal dan tidak ada disitu.
Dengan tertangkapnya The Outlaw semua senjata maupun peralatan militer yang telah dibeli serta dikumpulkan John Lie di Bangkok dan daerah sekitarnya tak dapat diangkut ke Aceh ataupun ke wilayah Indonesia lainnya.
The Outlaw merupakan satu-satunya kapal penghubung yang telah berhasil menguak isolasi terhadap Indonesia selama dua tahun terakhir. Tak ada kapal lain, kecil ataupun besar yang dapat menghubungkan Sumatera dengan Semenanjung Malaya selain The Outlaw karena sejumlah speed boat lainnya telah ditangkap terlebih dahulu. Berakhirnya riwayat The Outlaw meninggalkan kesan yang dalam bagi John Lie dan juga Angkatan Laut Republik Indonesia karena jasanya dalam perjuangan fisik.
John Coast, seorang diplomat atase Penerangan pada Kedutaan Besar Inggris yang kemudian sangat bersimpati dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia dan bergabung dengan Perwakilan RI menulis kesannya mengenai The Outlaw: “Menjelang di adakannya perundingan denngan Mr. Mohammad Roem dengan Dr. Van Royen, awal bulan Mei 1949, hanya tinggal John Lie satu-satunya sebagai penembus blokade Belanda. Pada waktu itu dana-dana kami telah hampir kering sama sekali. Jika tidak ada John Lie yang datang membawa muatan karetnya, dapat dibayangkan nasib apa gerangan yang akan menimpa para wakil Republik Indonesia di luar negeri. Tanpa uang, tentu mereka akan terkapar sengsara.
Sebagai pejuang ia tidak tinggal diam meskipun dalam masa pensiun. Ia aktif dalam pelayaan gereja dan juga pelayanan terhadap kaum gelandangan. Ia rela membiayai beberapa kaum miskin ini, memberi mereka makan dan mendoakan mereka bahkan menghantar gelandangan yang sakit dengan mobil jeepnya ke Rumah Sakit Angkatan Laut di Bendungan Hilir.
John Lie dalam hidupnya memperoleh tujuh belas tanda jasa dan meninggal pada tanggal 27 Agustus 1988. Dalam hidupnya, John Lie seringkali dinilai sebagai seorang tokoh eksentrik. Bersama The Outlaw ia senantiasa membawa serta dua buku Alkitabnya, satu berbahasa Inggris dan satu berbahasa Belanda. Karenanya majalah Life edisi 26 September 1949 memuat tulisan mengenai dirinya dengan judul: Guns and Bibles are smuggled to Indonesia (Senjata dan Alkitab Diselundupkan ke Indonesia).
Bagi John Lie yang menghayati imannya, The Outlaw yang berkali-kali lolos dari musuh dan keadaan yang sangat sulit, baik karena alasan kabut yang pekat sehingga musuh tidak mengejar atau karena musuh yang kehabisan bahan bakar atau pula berkat kelincahannya mengelak dan sebagainya, bukan sekedar karena beruntung ataupun kecerdikan saja, tetapi kesemuanya itu merupakan bimbingan dan pertolongan dari Tuhan yang memberikannya jalan keluar.
John Lie adalah sosok manusia Indonesia yang bukan saja mahir dalam kelautan tetapi juga senantiasa bersandar pada Yang Maha Kuasa dengan rajin berdoa di dalam tugasnya. Ia adalah sosok yang berhasil menyelaraskan imannya dengan menyelundupkan senjata bazoka bagi perjuangan tetapi sekaligus membawa dua Alkitabnya di dalam satu kapal. Wajar jika kemudian Jenderal (Purn) TNI A.H. Nasution berkata: John Lie adalah perwira domine (pendeta). Ketaatannya kepada Tuhan adalah lebih tinggi daripada kepada manusia siapapun. mat
Be the first to leave a comment